Cerpen Aan Kunchay: Kuah Dosa di Mangkuk Rakyat

LAHAT, kabarretorika.com – Cerpen Karya Aan Kunchay
Kuah Dosa di Mangkuk Rakyat
Gang sempit dengan aroma gorengan dan asap kendaraan menjadi pemandangan sehari-hari di sebuah sudut kota. Lampu jalan yang meremang menambah kesan suram pada tempat itu, namun ada satu titik terang: sebuah kedai kecil dengan papan kayu tua bertuliskan Mie Ayam Damai.
Kedai itu selalu ramai, meski sederhana. Meja-mejanya hanya terbuat dari kayu kasar, bangkunya sudah mulai reyot. Tapi ada sesuatu yang membuat pelanggan datang kembali—mangkuk mie ayam panas dengan kuah yang tak pernah gagal memanjakan lidah.
Pada malam itu, suasana kedai tampak biasa saja. Para pelanggan asyik menyeruput kuah, bercakap-cakap santai, atau sekadar menikmati teh manis hangat. Namun, keramaian itu sedikit terusik saat dua mobil hitam berhenti di depan kedai. Dari dalamnya, turun lima pria dengan pakaian rapi. Mereka langsung menuju meja di sudut, tempat favorit yang seolah selalu tersedia untuk mereka.
Para pelanggan biasa sudah tak asing dengan kedatangan mereka. Tak ada yang tahu pasti siapa mereka, tapi aura wibawa dan pakaian mahal cukup membuat orang-orang memilih untuk tidak bertanya.
Pak Hasan, pemilik kedai yang sudah beruban, menyambut mereka dengan ramah. “Seperti biasa, Pak?” tanyanya.
Pria tertua di antara mereka, dengan rambut disisir rapi dan wajah penuh kerutan tanda pengalaman hidup, mengangguk. “Seperti biasa, Pak Hasan. Lima mangkuk, plus cekernya.”
Pak Hasan tersenyum, lalu masuk ke dapur untuk mulai meracik pesanan.
***
Obrolan santai mulai mengalir di meja mereka. Salah satu pria, yang mengenakan jam tangan emas, tertawa lebar. “Lihat berita pagi tadi? Kasus pengadaan alat kesehatan mulai diungkit lagi. Untung nama kita nggak ada di situ.”
Yang lain ikut tertawa, seolah menganggap topik itu hanya lelucon ringan.
“Ya, biar saja mereka sibuk mengusut itu. Kita fokus ke proyek baru,” kata pria berkumis tebal, yang duduk di samping pria tua tadi.
“Proyek apa kali ini?” tanya pria muda yang tampak paling gelisah di antara mereka.
“Jalan tol. Anggarannya gede, dan saya sudah dapat lampu hijau dari atas. Tinggal kita bagi rata nanti.”
Percakapan mereka semakin mendalam, membahas anggaran, strategi penggelapan, hingga siapa saja yang harus diberi ‘jatah’ agar proyek mereka berjalan lancar. Suara mereka tak terlalu pelan, cukup bagi seorang pelayan yang sedang membersihkan meja dekat mereka untuk mendengar semuanya.
Pelayan itu, seorang pria muda yang tampak biasa saja, melirik mereka sekilas. Tangannya sibuk mengelap meja, tetapi telinganya menyimak setiap kata.
***
Ketika pesanan mereka tiba, aroma kuah mie ayam segera memenuhi udara. Salah satu pria, yang duduk di sisi kanan, mengambil sendoknya sambil berkomentar, “Kuah ini memang ajaib. Mungkin rahasianya di rempah-rempah, ya?”
Pak Bambang, pria tertua di sana, tersenyum. “Bukan cuma rempah. Tempat ini juga aman. Orang-orang di sini nggak peduli siapa kita.”
Mereka semua tertawa kecil, merasa nyaman dalam ilusi keamanan. Tapi, setelah beberapa suapan, suasana mulai berubah.
“Sebenarnya, waktu proyek gedung DPR itu, saya ambil lebih dari jatah saya,” kata pria muda dengan jam tangan emas tiba-tiba.
Yang lain menoleh ke arahnya. “Maksudmu?”
“Saya ambil 20 persen, bukan 10 persen seperti yang kita sepakati.”
Suasana di meja itu langsung tegang. Pak Bambang menatap pria itu dengan tajam. “Kamu serius, Andi?”
Andi tampak kebingungan. Ia memandang mangkuk mie ayamnya, lalu ke arah teman-temannya. “Apa tadi saya bilang? Saya nggak sadar ngomong apa…”
Yang lain mencoba menenangkan diri, menganggap itu hanya candaan. Namun, satu per satu dari mereka mulai berbicara hal-hal aneh.
“Saya juga. Proyek rumah sakit tahun lalu, saya bikin markup dua kali lipat. Bahannya saya ambil dari supplier murah,” kata pria berkumis tanpa ekspresi.
“Perumahan rakyat itu, cuma 30 persen yang jadi rumah. Sisanya, ya… kalian tahu lah.”
Pak Bambang menggeleng, merasa ada yang tidak beres. Ia memandangi mangkuk mie ayamnya, seolah mencari jawaban di dalamnya.
***
Dari balik meja kasir, Pak Hasan memperhatikan mereka dengan wajah datar. Ia berjalan mendekat sambil membawa sepoci teh panas. Setelah menuangkan teh ke gelas mereka, ia berkata pelan, “Tenang saja, Pak. Di sini, tidak ada yang mendengar. Rahasia Bapak-bapak aman.”
Pak Bambang menatap Pak Hasan dengan tatapan curiga. “Apa maksud Anda?”
Pak Hasan tersenyum kecil. “Kuah saya ini, Pak. Bukan kuah biasa. Ada sesuatu di dalamnya yang membuat orang merasa lebih ringan jika berkata jujur. Mungkin Bapak-bapak merasa lebih nyaman sekarang?”
“Ini semacam lelucon, ya?” tanya pria berkumis.
Pak Hasan hanya mengangkat bahu. “Lelucon atau bukan, Bapak sendiri yang tahu.”
***
Ketegangan mereka pecah saat pintu kedai terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah mantap. Tangannya memegang ponsel yang menampilkan siaran langsung.
“Selamat malam. Nama saya Tono, mahasiswa jurnalistik. Dan saat ini, Anda sedang menyaksikan pengakuan langsung para pejabat yang telah merugikan negara.”
Semua mata langsung tertuju pada Tono. Wajah-wajah di meja itu memucat. Pak Bambang segera berdiri, berusaha merebut ponsel Tono, tetapi pemuda itu melangkah mundur dengan cepat.
“Sudah tiga bulan saya bekerja di sini,” kata Tono, suaranya penuh emosi. “Saya mendengar semuanya. Tentang proyek yang kalian rusak, uang rakyat yang kalian curi, dan nyawa-nyawa yang kalian abaikan demi keuntungan kalian. Dan sekarang, semua orang tahu siapa kalian sebenarnya.”
Pak Bambang mencoba mengambil kendali. “Matikan siaran itu sekarang juga!” bentaknya kepada Tono.
Namun, Tono tidak gentar. Ia menatap pria tua itu dengan tajam, lalu berkata, “Apa Anda takut orang tahu kebenarannya, Pak? Selama ini Anda nyaman duduk di kursi kekuasaan, menikmati uang yang bukan hak Anda. Tapi malam ini, semua topeng itu jatuh.”
Pak Bambang berusaha mengulur waktu. “Anak muda, saya bisa jelaskan semuanya. Jangan gegabah. Apa yang kamu lakukan ini akan menghancurkan hidupmu sendiri.”
Tono tersenyum pahit. “Hancur, Pak? Hidup saya sudah cukup hancur sejak keluarga saya kehilangan rumah akibat proyek tol Anda. Ayah saya meninggal karena stres memikirkan ganti rugi yang tidak pernah datang. Jadi jangan bicara soal kehancuran kepada saya!”
Pernyataan itu membuat suasana hening sejenak. Para pejabat saling pandang, mencoba memahami siapa sebenarnya pemuda ini. Namun sebelum mereka bisa merespons, Tono melanjutkan.
“Orang-orang di luar sana perlu tahu, Pak. Mereka perlu tahu bahwa setiap cangkir kopi yang Anda minum, setiap mobil mewah yang Anda kendarai, dibeli dengan darah dan keringat mereka. Dan malam ini, saya pastikan Anda tidak bisa lagi lari dari kenyataan itu.”
***
Ketegangan semakin memuncak saat polisi datang, dipanggil oleh seseorang di antara pelanggan. Para petugas masuk ke kedai dengan langkah sigap.
“Ada apa ini?” tanya salah satu petugas, menatap kerumunan di dalam.
Pak Bambang dengan cepat mengambil alih situasi. Dengan sikap percaya diri yang masih tersisa, ia berkata, “Petugas, anak muda ini membuat keributan. Kami hanya makan malam, lalu dia memfitnah kami dengan tuduhan yang tidak masuk akal.”
Tono menatap polisi itu dengan dingin. “Pak, semua bukti sudah saya siarkan. Rekaman ini ditonton ribuan orang. Kalau Anda ingin tahu siapa yang benar, Anda bisa periksa sendiri. Tapi kalau Anda lebih memilih berpihak pada mereka, silakan. Dunia akan tahu, dan nama Anda akan terlibat.”
Polisi itu tampak ragu. Ia melirik para pejabat, lalu kepada Tono, yang masih memegang ponselnya dengan tangan gemetar. Salah satu pelanggan yang duduk di dekat pintu angkat bicara, “Pak, saya dengar sendiri pengakuan mereka tadi. Anak muda ini tidak bohong.”
Perlahan, suasana berubah. Para pelanggan yang sebelumnya hanya menjadi penonton mulai ikut bersuara. Satu per satu dari mereka menceritakan apa yang mereka dengar, mendukung Tono.
Polisi itu menarik napas panjang. “Baik. Kami akan memeriksa kebenarannya. Sementara itu, kami minta semua pihak untuk ikut ke kantor.”
***
Kabar tentang kedai itu menyebar seperti api di musim kemarau. Dalam hitungan jam, nama-nama para pejabat itu memenuhi berita nasional. Rekaman Tono menjadi bukti utama, disiarkan ulang di berbagai platform.
Namun, permainan belum selesai.
***
Seminggu kemudian, Tono dipanggil untuk menghadiri sidang penyelidikan di kantor kejaksaan. Ia merasa gugup, tetapi juga percaya diri bahwa apa yang ia lakukan adalah langkah benar.
Di ruang sidang, para pejabat yang pernah duduk santai di kedai itu kini tampak lebih lesu. Wajah mereka yang biasa penuh arogansi kini dihiasi kerutan kecemasan.
Tono memberikan kesaksiannya, menceritakan semuanya dengan rinci. Para jaksa mencatat setiap kata, seolah-olah kasus ini adalah titik awal perubahan besar.
Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
***
Bulan demi bulan berlalu, dan kasus itu perlahan menghilang dari sorotan. Media yang sebelumnya gencar memberitakan korupsi di proyek tol, rumah sakit, dan perumahan rakyat, kini lebih tertarik pada isu-isu lain. Nama-nama besar yang sempat disorot mulai kembali ke bayang-bayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Tono merasa frustrasi. Ia mencoba menghubungi jurnalis lain, mengirimkan bukti tambahan, tetapi semua upayanya menemui jalan buntu. Satu per satu pintu yang sebelumnya terbuka kini tertutup rapat.
Pada suatu malam, saat berjalan pulang, sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Kaca jendela perlahan diturunkan, memperlihatkan wajah yang sangat dikenalnya: Pak Bambang.
“Naik,” katanya singkat.
Tono ragu, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia masuk ke mobil itu, dan mereka melaju tanpa suara.
Pak Bambang memulai pembicaraan. “Kamu tahu kenapa kasus itu diam?”
Tono tidak menjawab, hanya menatap pria itu dengan penuh kebencian.
“Karena dunia ini tidak peduli pada orang seperti kamu. Mereka lebih peduli pada kenyamanan mereka sendiri. Kamu pikir pengorbananmu akan mengubah sesuatu? Tidak, anak muda. Sistem ini sudah terlalu kuat.”
Tono mengepalkan tinjunya. “Lalu kenapa Anda bawa saya ke sini? Untuk mengejek saya?”
Pak Bambang tertawa kecil. “Tidak. Saya mau beri kamu pilihan. Kamu pintar, kamu berani, dan kamu punya potensi. Daripada melawan sistem, kenapa tidak bergabung dengan kami?”
Tono terkejut mendengar tawaran itu. “Anda pikir saya bisa disuap?”
Pak Bambang mengangkat bahu. “Semua orang punya harga. Kalau bukan uang, mungkin kekuasaan. Kalau bukan kekuasaan, mungkin rasa aman. Dunia ini tidak hitam putih, Tono. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus belajar bermain di area abu-abu.”
Tono tidak menjawab, tetapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya sepanjang perjalanan pulang.
***
Beberapa minggu kemudian, kedai Mie Ayam Damai tutup tanpa pemberitahuan. Pak Hasan menghilang, dan tak ada yang tahu ke mana ia pergi.
Sementara itu, Tono mulai jarang terlihat. Mahasiswa idealis yang pernah memicu badai kini lebih sering terlihat mengenakan pakaian mahal, berbicara di forum-forum penting, dan menjalin relasi dengan orang-orang yang pernah ia lawan.
Kuah mie ayam itu mungkin memiliki kekuatan untuk mengungkap dosa, tetapi dunia lebih memilih untuk memaafkan dosa selama ada keuntungan di dalamnya.
Lahat, 2024
Tentang Penulis:
Aan Kunchay, seorang jurnalis di Kabupaten Lahat