“Sebelum Lemang Matang” Cerpen Menarik by: Aan Kunchay Lahat

Sebelum Lemang Matang

Oleh: Aan Kunchay

Senja merayap perlahan di belakang rumah panggung itu, rumah yang sudah tua, tetapi masih tegap seperti perempuan yang menempatinya. Di bawahnya, deretan kayu bakar mengering, menunggu takdirnya jadi bara. Dan di hadapan tungku tanah liat, seorang perempuan tua bernama Mak Ratna sedang menimbang buluh, memilih mana yang pantas jadi wadah lemang, mana yang hanya cocok untuk kelak jadi kayu dapur.

Angin sore turun dari arah Bukit Serelo, membawa aroma bunga kopi dan rumput basah. Di sela desir itu, suara sandal menyeret tanah membuat Mak Ratna menoleh sedikit, tidak terkejut, hanya memastikan.

Lelaki itu berdiri dengan napas berat, seperti baru saja memanjat tangga hati yang terlalu tinggi. Darman, anak lelakinya. Kemejanya rapi, tapi kerahnya tampak gelisah. Jam tangannya mengkilap, tapi matanya redup.

“Mak…” ucapnya pendek.

Mak Ratna mengusap buluh dengan selembar daun pisang, tidak terburu-buru.
“Sudah pulang dinas, Man?”

“Iya. Langsung ke sini.”

“Hm.”
Hanya itu jawabannya. Tapi Darman tahu: hm dari ibunya bisa berarti apa saja, dari rindu sampai murka.

Ia duduk di kursi bambu yang goyah.
“Mak, ikutlah tinggal sama aku. Rumahku besar. Mak tidurlah di kamar depan. Biar aku rawat.”

Mak Ratna menata buluh-buluh berdiri di sekeliling tungku.
“Semua orang ingin besar, Man. Sampai lupa ukurannya.”

Darman meraba-raba ujung kemejanya.
“Aku cuma ingin Mak nyaman. Di rumah besar, Mak tak usah lagi masak lemang. Tinggal santai.”

Perempuan tua itu tertawa kecil, bukan mengejek, hanya menertawakan kenyataan hidup yang sering keliru menerjemahkan makna nyaman.

“Rumah kau besar benar ya, Man?”

“Besar, Mak. Alhamdulillah.”

“Mobil kau baru juga ya?”

Darman terdiam sejenak. “Iya, Mak. Baru bulan lalu.”

Mak Ratna menambahkan kayu ke tungku.
“Nak… Mak ini memang tua. Tapi bukan berarti Mak buta.”

Senja makin kemerahan. Cahaya masuk lewat sela papan, menampar wajah Darman seperti kenyataan yang tak bisa dia elak.

Mak Ratna duduk di bangku kecilnya. Ia mengambil satu buluh, mengetuk bagian pangkal.

“Dengar baik-baik, Man. Buluh ini kosong. Kalau kau isi dengan ketan, santan, garam, lalu kamu bakar, dia akan bercerita. Dia akan buka rahasia. Lemang itu tidak pandai berbohong.”

“Mak… aku cuma ingin yang terbaik buat kalian,” bisik Darman.

“Dari uang apa?” Suara Mak Ratna sangat pelan, tetapi memotong udara seperti sembilu.“Gaji kau Mak tahu. Tunjangan kau Mak tahu. Bahkan honor-honor kecil kau pun Mak tahu. Tapi rumah kau… terlalu mahal. Mobil kau… terlalu mewah. Sekolah anak kau… lebih tinggi dari langit.”

Darman mengangkat kepala.
“Mak jangan su’uzon. Semua orang bilang aku berhasil karena kerja keras.”

Mak Ratna membuang pandang ke arah sungai kecil di belakang rumah.
“Kerja keras itu memang membawa rezeki. Tapi rezeki yang halal biasanya datang dengan peluh. Bukan dengan pintu belakang.”

Darman menutup mulutnya, menarik napas dalam-dalam.
“Mak tidak tahu dunia sekarang. Kalau aku tidak ambil sedikit-sedikit, jabatan ini cuma makan hati. Semua orang lakukan hal yang sama.”

Mak Ratna mengaduk bara, membuat api memercik kecil.
“Darman… kau diajari siapa soal benar–salah? Dunia? Atau Mak yang melahirkan kau?”

Darman bungkam.

“Kalau orang lain gosong, apa kau ikut juga? Kalau orang lain nyebur di sungai keruh, apa kau loncat juga? Dunia itu tidak bisa jadi pedoman kalau hati tak punya kompas.”

Mak Ratna mengangkat wajah, menatap anaknya seperti hendak membaca isi dadanya.

“Kau masih ingat bapakmu, Man?”

Darman tertegun. Ia mengangguk pelan.

“Bapak kau dulu pernah kerja di proyek besar. Dikasih amplop. Dia tolak. Uangnya banyak. Tapi dia bilang, ‘Ndak usah, Ratna! Kita makan nasi garam, asal anak kita tidak menunduk kalau disebut nama bapaknya.’”

Mak Ratna mengusap matanya yang mulai basah. “Bapak kau miskin, tapi namanya harum. Kau kaya… tapi Mak lihat bayangan hitam di belakangmu.”

Darman gusar. “Mak… jangan keras sekali.”

“Keras? Hidup lebih keras dari Mak.”
Ia menunjuk lemang yang mulai beraroma.
“Kalau santannya berlebih, dia ‘luyak’, Man. Kalau kurang garam, hambar. Hidupmu juga begitu. Kurang air santan akan ‘matah’. Terlalu banyak hal yang bukan hakmu… maka rasa hidup kau rusak.”

Ia menatap anaknya lebih tajam, suaranya merendah namun menusuk, “Kau kira Mak bangga punya anak kepala dinas? Kalau nama besar kau itu cuma berdiri di atas hak orang lain?”

Darman mencoba membuka suara, tapi tenggorokannya tercekat.

Mak Ratna melanjutkan, “Kaya itu bukan salah, Man. Tapi kalau kaya kau membuat orang bertanya-tanya… kalau kaya lebih cepat dari kerja keras… orang tidak puji. Orang cuma sabar menunggu kapan kau jatuh.” Ia menunduk, membalik lemang. “Dan kalau kau jatuh, Man… jangan lupa: Yang dipermalukan bukan cuma dirimu. Istri kau. Anak kau. Mak. Semua ikut menunduk.”

Darman menahan napas seperti menahan badai. Mak Ratna menambahkan kayu kecil.
“Asal kau tahu… uang haram itu seperti api, Man. Hangat di awal, membakar di akhir. Hangatnya sebentar, malunya lama. Lamanya sampai ke anak cucu.”

Ia berhenti sejenak. Kemudian mengucapkan sesuatu yang membuat udara serasa pecah:
“Ingat ini baik-baik… nama besar bisa dibeli, tapi nama baik harus diperjuangkan. Nama besar bisa runtuh dalam sehari. Nama baik hidup lebih lama dari makam.”

Darman menutupi wajahnya. Tangan yang selama ini memegang kemudi mobil mewah itu kini gemetar seperti genggaman anak kecil.

Darman menunduk. Api tungku terus berderak, memercik kecil, seolah menertawakan kebisuannya.
Mak Ratna menambahkan sepotong buluh kosong ke tepian api. “Lihat ini, Nak…” katanya pelan.

Darman mengangkat wajah. Buluh itu mulai menghitam di satu sisi, perlahan, seperti dosa yang tak pernah benar-benar padam.

“Kalau api kau biar hidup dari yang tak benar,” suara Mak Ratna gemetar sedikit, “dia makan apa saja. Termasuk nama kau, nama anak kau, dan nama yang sudah susah payah emak jaga dari dulu.”

Darman menelan ludah. Sesak.
Mak Ratna mengusap buluh gosong itu dengan jari renta yang gemetar.
“Orang bisa sembunyi dari banyak hal, Man… tapi bau hangus ini…” Ia mengangkat buluh itu, menyodorkannya dekat wajah anaknya. Aroma gosongnya menusuk hidung. “…bau ini,” lanjutnya lirih, “akan pulang duluan ke rumah kau, sebelum kau sendiri sampai.”

Darman tiba-tiba merasakan sesuatu pecah di dalam dadanya, pelan dulu, lalu seperti retakan yang merambat cepat. Mulutnya ingin bicara, tapi tak ada suara yang keluar.

Mak Ratna melanjutkan tanpa menatap anaknya, “Emak takut, Man… bukan takut kau miskin… tapi takut kau pulang nanti bukan bawa harga diri, tapi bawa malu. Malu yang tak bisa dicuci walau seluruh Sungai Lematang kau keruk.”

Darman tercekat. Tangannya, tanpa ia sadari, meraih buluh gosong itu. Sentuhan pertamanya membuat jantungnya seperti berhenti sekejap.
Panasnya masih tersisa, seperti dosa yang menempel di kulit.

“Man…” suara ibunya merendah, nyaris seperti doa yang putus, “…kalau api sudah jadi kawan yang salah, dia cuma punya satu hadiah: hangus.”

Kalimat itu menghantamnya lebih keras daripada seluruh omelan atasan, media, atau ancaman hukum yang pernah ia dengar.
Karena kali ini, yang berbicara bukan negara, tetapi ibunya.

Darman memejamkan mata. Di balik kelopak, ia melihat rumah mewahnya, mobilnya, sekolah mahal anak-anaknya. Semua tampak seperti bayangan rapuh yang menunggu waktu runtuh.
Air matanya jatuh, diam, tanpa suara. Pertama kali sejak ia menjabat.

Mak Ratna pura-pura sibuk membalik lemang, pura-pura tak melihat, tapi suaranya lembut seperti air yang menenangkan bara.

“Masih ada waktu, Man… sebelum lemang ini matang.”

Darman membuka mata. Ada sesuatu yang baru tumbuh di dalamnya. Bukan penyesalan saja, tapi tekad yang akhirnya menemukan rumah. Ia menatap api. Dan untuk pertama kalinya, api itu tidak lagi mengancam, ia seperti cermin yang memperlihatkan wajah sebenarnya.

“Mak… kalau aku berhenti… apa masih bisa semuanya diperbaiki?”

Mak Ratna menatapnya, lama, sangat lama, seolah hendak membaca garis hidupnya.
“Bisa. Selama kau masih hidup, masih ada yang bisa dibetulkan. Yang tidak bisa dibetulkan itu… kubur, Man.”

Darman menangis tanpa suara. Mak Ratna menepuk bahu anaknya. Lembut. Tegas. Ibu sekali, manusia sekali.

“Pulanglah kepada dirimu sendiri. Baru pulang kepada dunia.”

Mereka makan lemang bersama, diam dan hangat. Langit Kabupaten Lahat berubah emas, lalu merah, lalu ungu. Seperti membuka jalan untuk sebuah keputusan yang hanya diketahui oleh orang yang sedang menatap bara di dalam dirinya sendiri.

Tidak ada sumpah. Tidak ada janji-janji manis.
Hanya getaran halus pada tatapan Darman, seperti lemang yang matang tepat waktu: Diam, tapi penuh niat. Dan Mak Ratna tahu:
Hari itu, bukan hanya lemang yang matang.
Hatinya dan hati anaknya, akhirnya ikut matang.

Lahat, 5 Desember 2025

Tentang Penulis:
Aan Kunchay adalah seorang jurnalis asal Kabupaten Lahat yang juga menekuni dunia tulis-menulis. Dalam kesehariannya, ia tak hanya melaporkan fakta, tetapi juga mengolah kisah-kisah inspiratif dari sekelilingnya menjadi cerita yang menggugah. Salah satu karyanya adalah “Burung-Burung yang Lupa Cara Terbang”, sebuah kumpulan cerpen yang merefleksikan realitas kehidupan yang diterbitkan pada tahun 2024.