Sekembalinya Aku Nanti
Puisi-Puisi Aan Kunchay
Sekembalinya Aku Nanti
Sekembalinya aku nanti
Masih adakah kebencian di sana
Di galengan yang saban hari
menjuntai di pelupuk mata
Di riak sungai, di surau tua
yang kian hangat di kepala
Angin mana sudi meniupkan
Hitam kisah bujang terbuang
Mengubur daun inai yang gugur di halaman
—muara sesat laku masa lalu
Sekembalinya aku nanti
Beranda mana masih memahat kekata lama
: Biar petang berarak mendung
Takkan rundung hangat mentari
Biar hilang anak di kandung
Takkan limbung adat berdri
Sekembalinya aku nanti
Akankah ku terasing
Di tanah tersayang
Tempat ku pulang dan berpulang
Lahat, 2017
Senandung Ibu
tang tang wit
kecipak air perigi
gapai bintang di langit
terbang anak tinggi-tinggi
senandungmu, ibu
adalah sihir di kepala
kala ku belia yang menyeret tungkai
pada hikayat indah
seorang pengembara papa
senandung itu
lalu kutoreh di layar-layar perahu rantau
melanglangi laut-laut bumi
saat ombak pasang menggebu
bernyanyi aku menerjang badai
o, tang tang wit
hantar aku ke langit
tapi, bu
saat kusinggahi riuh kota
aku bagai berjalan di lorong sepi
terasing di pelukan mimpi
kerap kusuarakan nyanyianmu
di dada-dada penguasa
mereka mengunci hati
mereka tertawa
katanya, di kota langit selalu hitam
tak ada bintang bersemayam
aku lelah, bu
dari kesalahan menerjemah senandungmu
aku menyerah
angin-angin talang
membuka mataku tuk pulang
jika pulau ada delapan
pulau pandan injak dahulu
jika rantau tiada berkawan
pulang badan mengapa malu
namun sayang aduhai sayang
kini talang nyaris hilang
surau menua alangkah lengang
suara anak mengaji ditenggelamkan
aksi dagelan di televisi
tak ada lagi kaki-kaki di pematang
telah punah bunga ilalang
juga kerlip kunang-kunang
kini aku tahu, bu
langit di senandungmu
merupakan tempat
dimana kini kau
menunggu
Lahat, 2017
Hikayat Lelaki Pejalan
I
tungkai mungil lincah membelah padang ilalang di belakang ibu mengikuti memanggul kinjagh bercucur keringat sebelah tangannya erat menjinjing jeriken bambu
“tak perlu berlari anakku. jalanan hidup bukan bersahabat pada yang terburu kelak engkaulah pejalan itu. langkahlangkah menyulam gugusan sejarah menyusuri gelap dan suram seorang diri terseok mendaki puncak mimpi. jika bertuah engkaulah pejalan yang sejalan dengan ajaranajaran”
kaki mungil nan lincah melambat bingung kerut di kening menyesap kesiur angin mencerna untaian kata diliriknya bunga ilalang beterbangan
mengusik persembunyian para belalang
di tebing. di antara rimbun sikejut sang anak menuntun langkah ibu tersenyum ibu berpetuah “anakku. berjalanlah dengan menunduk onak demi onak mengintai sepanjang lengah kelak engkaulah pejalan itu. terasing dari orangorang berlari. dengan berjalan kau tahu siapa pantas dinanti. dengan berjalan matamu awas menyaksikan kepedihankepedihan yang merintih di sunyi sepi. kelak di tengah jalan genang airmata kan banyak ditemui gegas tak perlu berlari. waktu jualah penghantar takdir”
langit menjingga. tiba mereka di pangkalan mandi di atas batu ibu mencuci. di atas batu sang anak memahat petuah riak alirkan kisah ke muara zaman
II
“menyelamlah sedalamdalam kenangan kaut dan dekap segala yang datang dari masa lalu!” Ibu berteriak dari atas batu selepas membilas pakaian terakhir
si anak seakan tak hirau. kenangan seperti apa yang sangkut di masa belia? tiadalah yang lebih pantas dikenang. selain embun dari mata ibu, yang meruah kala menanak nasi di dapur lengang asap mengepul bagai gumpalan uap amarah atas kepergian abah
“ibu dendangkanlah nyanyian pengelana!”
ibu terkesiap. diusapnya rinai yang turun di kelopak bisu segera dirinya menyelam menyembunyikan luka dalam. dalam
si anak sigap menunggangi kaki ibu yang beselonjor di dangkal sungai
kaki ibu mengayunayun tubuh kecilnya perlahanlahan syair terlantun merdu irama menyaingi deru sungai di telinga semesta
terkisah bujang memeluk rantau
tinggalkan kawan tinggalkan pulau
tinggallah ibu tinggallah surau
tinggallah sawah tinggallah dangau
di rantau bujang jangan bermuram
lafalkan kalam di kala malam
usah dikenang silam nan suram
jangan turuti kehendak dendam
syair itu menghentak sekujur waktu si anak terlelap di ribaan arus
III
beduk segera ditabuh
ke surau anak menenteng suluh
melangkahi halaman basah rumah ibu
di remang surau
dianggitnya alif ba ta tsa
menjadi rangkaian pijakan kelana
dilangitkan petitih tetua
“Tiada pejalan lupakan kandang
Surau tempat kaupulang
Surau tempat berpulang”
Lahat, 2017-2021
Melankolis
Tak perlu lagi mata harus dibasahi
Angin sudah terlalu lembab pekan ini
Membalut setiap serpihan
Dari retak pengharapan
Tak perlu ada maskumambang
Langit sudah begitu kelabu pagi ini
Menelan segenap kehangatan
Dari jejak perjalanan
Angan telah menepi
Terdiam di dasar sunyi
Tak perlu lagi ada yang ditumbuhkan
Daun berguguran di halaman
Telah tersadai di tanah basah
Entah tertimbun entah berserah
Hidup tetaplah kerugian
Sibuk menghitunghitung ketiadaan
Dalam langkah ketidakabadian
Lahat, 12 Februari 2019
Di Stasiun Kereta
di stasiun tua dan bisu
langkah pengembaraan usai sudah
tungkai melemah, lelah, dan patah
tubuh melunglai
di bangku usia aku tersadai
kunanti kedatangan kereta
yang konon segera tiba
: menyambangi aku—sebentar saja
di stasiun tua dan bisu
lengang dan suram hadirkan
bayangbayang tanah halaman
menelusup cepat di antara baris kecemasan
tanah halaman yang menanti segala kepulangan dimana kisah bermula tentang perjalanan panjang
dan tak lekang
ada yang menitik di pipiku
saat menatapi jarum jam—melaju
menggilas cerita lalu
hingga menyisa puing-puing kenangan
di tiap sisi kota yang akan ditinggalkan
mega-mega berarak kelabu
sayup-sayup kereta berteriak sendu
kesedihan yang kulukis
tak menggubris tatapan sadis Sang Masinis
kereta tiba. meretas kenangan
dengan pisau perpisahan.
Lahat, Oktober 2016