Cerpen Karya Aan Kunchay: “Amin”

LAHAT, kabarretorika.com – Di tengah hiruk-pikuk Dream City, di sebuah kantor polisi kecil yang lebih sering dipakai untuk tidur siang ketimbang memberantas kejahatan, dua sosok dengan pakaian seragam lusuh duduk di kursi reyot. Salim, bertubuh kurus dan bermuka serius, berusaha memahami peta yang lebih mirip coretan anak TK. Sementara itu, Salam, gemuk dan berkumis tebal, sibuk menyuap nasi bungkus dengan lauk telur dadar.

“Ini serius, Lim? Kita ditugasin nangkep Qodrat, gembong kriminal paling berbahaya?” tanya Salam di sela kunyahannya.

“Serius. Tapi saya juga nggak ngerti kenapa kita yang dipilih. Kita ini kan cuma polisi pangkat rendah, nggak punya mobil dinas apalagi peluru cadangan,” jawab Salim sambil melipat peta dengan gerakan frustrasi.

Komandan Suroto masuk ke ruangan. Wajahnya tegang, lebih tegang dari biasanya ketika apel pagi. “Salim, Salam. Dengar baik-baik. Tugas ini adalah kehormatan. Tapi ingat, Qodrat bukan penjahat biasa. Dia bukan cuma ahli melarikan diri, tapi juga ahli membuat orang lupa tujuan mereka.”

Salim mengernyit. “Maksudnya, Pak?”

“Sudah banyak polisi yang mencoba menangkapnya, tapi semua gagal. Sebagian berhenti di tengah jalan karena tergoda iming-iming. Sebagian lagi… yah, terlalu sibuk bersenang-senang di tempatnya.”

Salam tersedak. “Bersenang-senang, Pak? Maksudnya apa?”

Suroto tidak menjawab. Tatapan matanya seolah mengatakan, Kalian akan tahu nanti.

Tantangan Pertama: Di Balik Pintu Doraemon

Petunjuk membawa mereka ke Tempat Pembuangan Sampah terbesar di kota. Tempat itu dipenuhi lalat, bau busuk, dan pemulung yang sibuk mengais harapan di antara sisa makanan basi.

“Gembong kriminal paling ditakuti tinggal di sini? Jangan-jangan dia nyamar jadi pemulung,” gumam Salam sambil menutup hidung dengan saputangan.

Mereka menemukan sebuah pintu kecil berdiri tegak di tengah tumpukan sampah. Tidak ada tembok, tidak ada kerangka, hanya pintu yang terlihat seperti properti sisa syuting acara anak-anak.

“Masuk nggak, Lim?” tanya Salam, suaranya gemetar.

Salim mengangguk, meski di hatinya juga diliputi ketakutan. Mereka membuka pintu itu, dan seketika mereka terlempar ke dalam dunia yang berbeda.

Di balik pintu, mereka disambut pemandangan yang begitu megah. Karpet merah terbentang, lampu kristal bergelantungan, dan udara wangi semerbak.

“Ini rumah gembong penjahat atau istana raja?” bisik Salam.

Dua perempuan cantik muncul dari balik tirai. Senyuman mereka manis, terlalu manis untuk tempat seperti ini.

“Duduklah, Tuan-Tuan,” kata salah satu dengan suara lembut seperti lagu nina bobo.

“Kalian pasti lelah. Minumlah ini, untuk menyegarkan pikiran,” tambah yang lain, menyodorkan gelas berisi cairan emas yang aromanya menyeruak menggoda.

Salam nyaris mengambil gelas itu, tetapi Salim menahannya. “Jangan! Ini pasti jebakan!”

Perempuan-perempuan itu mendekat, senyum mereka berubah menjadi seringai. “Kalian tidak akan bisa menangkap Qodrat. Tinggallah di sini bersama kami. Bersenang-senanglah.”

Sejenak, Salam terlihat bimbang. “Lim, bukannya kita jarang dapat libur? Sekali-kali santai nggak apa-apa, kan?”

Namun Salim menarik napas panjang. “Kita ke sini bukan untuk itu. Ingat sumpah kita.”

Akhirnya, dengan tekad yang tersisa, mereka mengikat kedua perempuan itu dan melangkah ke ruangan berikutnya.

Tantangan Kedua: Komandan Pengkhianat

Ruangan berikutnya begitu sunyi. Di tengahnya berdiri seseorang yang mereka kenal: Komandan Suroto.

“Pak Komandan?!” seru Salam tak percaya.

Suroto tersenyum kecil. “Kalian hebat bisa sampai sejauh ini. Sebagian besar yang saya kirim berhenti di ruang sebelumnya.”

Salim merasa amarahnya naik. “Jadi, Pak, ini semua bagian dari rencana? Selama ini Bapak tahu Qodrat ada di sini?”

Suroto menghela napas. “Qodrat adalah orang yang terlalu penting untuk ditangkap. Dia bukan sekadar penjahat. Dia… katalis. Banyak yang bergantung padanya, termasuk sebagian dari kita. Kalau dia jatuh, semuanya ikut runtuh.”

Salam menelan ludah. “Jadi, Bapak ada di pihak dia?”

“Bukan soal pihak, Salam. Ini soal keseimbangan. Sekarang dengarkan saya: pulanglah. Anggap ini misi gagal, dan saya pastikan kalian naik pangkat. Gaji kalian naik, keluarga kalian lebih sejahtera.”

Kata-kata itu menusuk hati mereka. Salim teringat istrinya yang sering bertanya kapan mereka bisa beli rumah sendiri. Salam terbayang anaknya yang selalu meminta mainan baru.

Namun Salim mengepalkan tangan. “Tidak, Pak. Kami bukan ke sini untuk naik pangkat. Kami ke sini untuk menegakkan kebenaran.”

Suroto tersenyum pahit. “Keberanian kalian patut diacungi jempol, tapi ingat, keberanian saja tidak cukup untuk melawan sistem.”

Salim dan Salam tetap melangkah maju, meninggalkan Suroto yang menggelengkan kepala.

Tantangan Terakhir: Suara Tawa yang Menggoda

Di ruangan terakhir, mereka mendapati meja besar dengan kursi mewah. Tidak ada siapa pun, hanya suara tawa menggema di sekeliling mereka.

“Kalian pikir bisa menangkapku? Lucu sekali,” kata suara itu.

Tiba-tiba dua koper melayang ke arah mereka dan terbuka. Isinya uang tunai dalam jumlah yang tak terhitung.

“Kalian hanya perlu mengambil ini dan pergi. Tidak ada yang akan tahu,” lanjut suara itu.

Salam gemetar. “Lim, ini… ini miliaran. Kita nggak perlu jadi polisi miskin lagi. Kita bisa hidup enak!”

Namun Salim menatap koper itu dengan mata tajam. “Tapi kita juga akan kehilangan harga diri kita, Salam.”

Dengan keberanian yang tersisa, mereka mendekati meja dan akhirnya menemukan sumber suara. Seekor tikus hitam kecil, mengenakan jas rapi dan dasi, duduk di atas kursi.

“Qodrat?” tanya Salim dengan suara bergetar.

Tikus itu tertawa lagi. “Ya, saya Qodrat. Dan kalian manusia adalah permainan favorit saya.”

Akhir Perjalanan

Ketika mereka keluar dari pintu Doraemon, Salim dan Salam berjalan pelan. Di tangan Salam, sebuah perangkap kawat berisi Qodrat.

Di kantor polisi, semua orang bersorak menyambut keberhasilan mereka. Tapi di hati Salim dan Salam, ada kelelahan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka tahu perjuangan melawan Qodrat bukan sekadar menangkap tubuhnya, tapi melawan godaan yang ada di dalam diri mereka sendiri.

Suara Amin

Di sebuah kamar kost sempit, Pudin terbangun dari tidurnya. Ia terengah-engah, masih merasakan ketegangan mimpi itu.

“Ya Allah, semoga negeri ini punya lebih banyak polisi seperti Salim dan Salam,” gumamnya pelan.

Dari kejauhan, terdengar suara “Amin” bergemuruh dari jamaah yang tengah menunaikan salat Subuh. Pudin tersenyum kecil, lalu bangkit untuk berwudhu.

Lahat, 20 November 2024

Tentang Penulis

Aan Kunchay adalah seorang jurnalis dari Kabupaten Lahat yang telah lama berkecimpung di dunia pemberitaan. Selain menekuni profesinya sebagai penyampai kabar, Aan juga memiliki hasrat mendalam terhadap dunia sastra.

Dengan latar belakang sebagai pengamat kehidupan di kabupaten kecil yang penuh dinamika, Aan memiliki kemampuan untuk menyajikan kisah-kisah sederhana menjadi cerita yang penuh makna.

Cerita “Amin” ini adalah salah satu bentuk kepeduliannya terhadap isu kejujuran dan integritas di tengah masyarakat, yang dikemas dengan sentuhan drama dan komedi. Baginya, sastra adalah cara lain untuk berbicara kepada dunia, ketika kata-kata biasa tak lagi didengar.